Arsip

Archive for 16 Januari 2008

Ayah Juga Lupa

16 Januari 2008 Tinggalkan komentar

Tulisan ini di buat oleh seseorang di tengah kesadarannya bahwa perlakuan yang kasar tidak menghasilkan apa-apa selain bahaya dan hal negatif yang mungkin timbul dimasa yang akan datang. Di buat oleh seorang ayah yang akhirnya tersadar akan sebuah kesalahan yang telah di perbuat tanpa disadarinya. Tulisan yang mengingatkan nurani kita untuk lebih terbuka dan berusaha memahami orang lain, bukan menonjolkan ke-ego-an kita. Tulisan yang terinspirasi oleh senyum tulus seorang anak, senyum sebagai balasan atas perlakuan kasar, senyum khas syurga yang dimiliki oleh setiap anak-anak di belahan bumi manapun. Senyum yang mungkin juga kita miliki manakala tidak ada dendam dan cacat di hati kita.

 

Sebuah artikel tentang pengakuan tulus seorang ayah yang telah menginspirasi jutaan orang untuk mempelajari untuk berlaku bijak dan adil dalam bersikap. Sebuah pesan yang mungkin kita juga ingin menyampaikan ketelinga anak-anak kita disaat mereka terlelap. Pesan yang mungkin tidak akan mereka fahami, tapi akan menjadi panduan kita dalam bersikap tidak hanya kepada mereka tapi juga orang lain.

 

 

Ayah Juga Lupa

(W. Livingstone Larned)

Dengar, Nak: Ayah mengatakan ini pada saat Kau terbaring tidur, sebelah tangan kecil merayap dibawah pipimu dan rambutmu yang keriting pirang lengket pada dahimu yang lembab. Ayah menyelinap masuk seorang diri ke kamarmu. Baru beberapa menit yang lalu, ketika Ayah sedang membaca koran di perpustakaan, satu sapuan sesal yang amat dalam menerpa. Dengan perasaan bersalah Ayah datang menghampiri pembaringanmu.

Ada hal-hal yang Ayah fikirkan, Nak: Ayah selama ini bersikap kasar padamu. Ayah membentakmu ketika Kau sedang berpakaian hendak pergi ke sekolah karena Kau Cuma menyeka mukamu sekilas dengan handuk. Lalu Ayah lihat Kau tidak membersihkan sepatumu. Ayah berteriak marah tatkala Kau melempar beberapa barangmu ke lantai.

Saat makan pagi Ayah juga menemukan kesalahan. Kau meludahkan makananmu. Kau menelan terburu-buru makananmu. Kau meletakkan sikumu diatas meja. Kau mengoleskan mentega terlalu tebal di rotimu. Dan begitu Kau baru mulai bermain dan Ayah berangkat mengejar kereta api, Kau berpaling dan melambaikan tangan dan berseru ”Selamat jalan Ayah!” dan Ayah mengerutkan dahi, lalu menjawab, ”Tegakkan bahumu!”

Kemudian semua itu berulang lagi pada sore hari. Begitu Ayah muncul dari jalan, Ayah segera mengamatimu dengan cermat, memandangmu hingga lutut, memandangmu yang sedag bermain kelereng. Ada lubang-lubang pada Kaus kakimu. Ayah menghinamu di depan kawan-kawanmu, lalu menggiringmu untuk pulang kerumah. Kaus kaki mahal – dan kalau Kau yang harus membelinya, Kau akan lebih berhati-hati! Bayangkan itu, Nak, itu keluar dari fikiran seorang Ayah!

Apakah Kau ingat, nantinya, ketika Ayah sedang membaca di ruang perpustakaan, bagaimana Kau datang dengan perasaan takut dan dengan rasa terluka dalam matamu? Ketika Ayah terus memandang koran, tidak sabar dengan gangguanmu, Kau jadi ragu-ragu di depan pintu. ”Kau mau apa?” semprot Ayah.

Kau tidak berkata sepatahpun, melainkan berlari melintas dan melompat kearah Ayah, Kau melemparkan tanganmu melingkari leher saya dan mencium Ayah, tangan-tanganmu yang kecil semakin erat memeluk dengan hangat, kehangatan yang Tuhan telah tetapkan untuk mekar di hatimu dan yang bahkan pengabaian sekali pun tidak akan mampu melemahkannya. Dan kemudian Kau pergi, bergegas menaiki tangga.

Nak, Nak, sesat setelah itu koran jatuh dari tangan Ayah, dan suatu rasa takut yang menyakitkan menerpa Ayah. Kebiasaan apa yang Ayah sudah lakukan? Kebiasaan dalam menemukan kesalahan, dalam mencerca – ini adalah hadiah Ayah untukmu sebagai seorang anak lelaki. Bukan berarti Ayah tidak mencintaimu; Ayah lakukan semua ini karena Ayah berharap terlalu banyak dari masa muda. Ayah sedang mengukurmu dengan kayu pengukur dari tahun-tahun Ayah sendiri.

Dan sebenarnya begitu banyak hal yang baik dan benar dalam sifatmu. Hati mungil milikmu sama besarnya dengan fajar yang memayungi bukit-bukit luas. Semua ini Kau tunjukkan dengan sikap spontanmu saat Kau masuk dan mencium Ayah sambil mengucapkan selamat tidur. Tidak ada lagi masalah lagi malam ini, Nak, Ayah sudah datang ke tepi pembaringanmu dalam kegelapan, dan Ayah sudah berlutut disana, dengan rasa malu!

Ini adalah sebuah rasa tobat yang lemah; Ayah tahu Kau tidak akan mengerti hal-hal seperti ini kalau Ayah sampaikan padamu saat Kau terjaga. Tapi esok hari Ayah akan menjadi Ayah yang sejati! Ayah akan bersahabat karib denganmu, dan ikut menderita bila Kau menderita, dan tertawa bila Kau tertawa. Ayah akan menggigit lidah Ayah kalau kata-kata ridak sabar keluar dari mulut Ayah. Ayah akan terus mengucapkan kata ini seolah-olah sebuah ritual: ”Dia Cuma seorang anak kecil – anak lelaki kecil!

Ayah khawatir sudah membayangkanmu sebagai seorang lelaki. Namun, saat Ayah memandangmu sekarang, Nak, meringkuk berbaring dan letih dalam tempat tidurmu, Ayah lihat bahwa Kau masih seorang bayi. Kemarin Kau masih dalan gendongan ibumu, kepalamu berada di bahu ibumu. Ayah sudah meminta terlalu banyak, sungguh terlalu banyak.